Hari raya idul adha dan peristiwa qurban tidak hanya dimaknai sebagai wujud kepasrahan Nabi Ibrahim yang total kepada Tuhan. Keduanya juga memiliki makna pembebasan manusia dari nilai nilai kemanusiaan dari kesemena-menaan manusia atas yang lainnya.
Ketika tuhan mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba, tersirat pesan yang ingin memaklumkan manusia agar tidak lagi menginjak injak manusia lain dan kemanusiaannya. Drama itu juga mengajarkan bahwa tuhan Ibrahim bukanlah tuhan yang haus darah.
Dia adalah tuhan yang ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dan harkat kemanusiaan itu sendiri dari tradisi yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan.
…
Hari Raya Idul Adha merupakan momentum pengorbanan personal seorang muslim kepada Allah SWT, seperti dicontohkan Nabi Ibrahim AS terhadap putranya Ismail. Allah SWT mengabadikan Idul Adha dalam surat As Shaffat, ayat 102-109.
Dalam surat itu, dikisahkan sejarah qurban yakni ketika Ismail berusia remaja, Ibrahim ayahnya menceritakan kepada Ismail bahwa dia telah mendapatkan perintah dari Allah SWT melalui mimpi untuk menyembelih Ismail. Ibrahim bertanya ke Ismail, “Bagaimana menurutmu, wahai Ismail?”
Ismail menjawab: “Wahai ayah, laksanakan perintah Allah SWT. Saya sabar dan ikhlas atas perintahkan Allah,” ujar Ismail. Ibrahim mendapatkan perintah Allah SWT untuk menyembelih Ismail sebanyak 3 (tiga) kali dalam mimpi. Setelah yakin, Ibrahim dengan ikhlas menyembelih Ismail. Saat penyembelihan Allah SWT mengganti Ismail menjadi domba.
Makna spiritual dari kisah yang tertulis dalam surat As Shaffat itu ialah hari raya Idul Adha merupakan petunjuk dari Allah SWT bagi umat muslim untuk selalu memiliki keteguhan hati dan keyakinan atas kebenaran perintah Allah. Dalam hal ini umat muslim wajib untuk selalu ihklas, taat dan menjaga kesabaran. Allah SWT secara jelas memberi peringatan kepada umat muslim agar selalu sanggup mengorbankan diri, keluarga dan harta benda yang disayanginya karena Allah Ta’ala.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin’ berkata bahwa setan senantiasa membisiki umat muslim, “Untuk apa beribadah kalau tidak ihlas, lebih baik tidak usah beribadah”.
…
Pada momen idul adha tahun ini semestinya kita memaknai perayaan Idul Adha sebagai momentum berbagi kebaikan ke sesama. Keteladanan Nabi Ibrahim saat “mengorbankan” anaknya Ismail, menjelaskan kepada umat Islam tentang makna pengorbanan tersebut. Karena itu, Idul Adha yang berada dalam situasi pandemi COVID-19 hendaknya dimaknai lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan kurban. Namun, justru dapat memperbanyak amal ibadah dengan berbagi kebaikan dan membantu sesama melalui apa yang dimiliki, sehingga merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pengorbanan terhadap sesama, karena pandemi COVID-19 telah berdampak pada ekonomi dan sosial masyarakat.
Misalnya, bagi mereka yang kini bekerja seperti berjualan. Kemudian ada keluarga mereka yang terkena positif COVID-19 dan tidak bisa jualan. Karena itu, golongan mereka ini sangat membutuhkan bantuan dan juga santunan, karena tidak ada pemasukan sama sekali.
Karenanya, memahami agama itu tidak hanya sekadar dilaksanakan secara harfiyah, sehingga dalam konteks Idul Adha tidak hanya berkurban, tapi agama juga dilaksanakan dengan pikiran rasional dan juga kepekaan nurani.
Sebagai metode dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam bidang keagamaan, ada penerapan dengan bersumber pada Kitab Suci Al Quran dan Sunnah Rasulullah Muhammad sallahu alaihi wassalam (SAW) dan melalui tiga pendekatan, yaitu burhani, bayani, serta irfani.
Pendekatan bayani adalah melihat masalah agama dari segi dalil-dalil syar’i-nya, kemudian pendekatan burhani melihat permasalahan dari sudut teori-teori ilmu pengetahuan, sedangkan yang irfani melihat masalah dari kepekaan nurani.Melalui sumber dan pendekatan itulah, dalam menyambut Idul Adha 1442 Hijriah, Persyarikatan Muhammadiyah, seperti halnya Tahun 2020, menganjurkan agar mengalihkan dana untuk kurban guna membantu warga tidak mampu yang terdampak COVID-19.